Cartoon Conservative - Teguh Santosa, komikus ternama Indonesia.
Barangkali anda pernah mendengar komik lawas berjudul "Sandhora" ? atau "Mat Romeo" ?, atau malah "Mentjari Majat Mat Pelor"? ... berarti anda pernah juga mendengar nama Teguh Santosa.
Berikut ini, beberapa kisah perjalanan hidupnya, yang diuraikan secara singkat saja.
Ilustrator komik atau komikus, Teguh Santosa hanya berpendidikan SMA 4 Malang. Keahliannya menggambar diasahnya sendiri secara otodidak . Pada tahun 1966 Teguh pindah ke Yogya dan bergabung dengan ”Sanggar Bambu”. Ia belajar menggambar pada Kentardjo, Soenarto PR, dan sastrawan Kirdjomulyo.
Komik pertamanya berjudul SUMA, dibuat pada tahun 1963. Bentuknya memanjang
seperti komik Medan. Honornya Rp 10.000, - digunakan untuk membeli sepasang
cincin kawin dan menikah dengan Sutjiati teman sekolahnya pada tahun 1964.
Setelah membuat komik Suma pada tahun 1963, Teguh Santosa membuat komik
berjudul Paku Wojo pada tahun 1964,
Teguh dikaruniai empat anak: Theaterina Onwardini, Dhani Valiandra, Aprodita
Anggraini, dan Dody Syailendra. Jiwa seni menurun kepada Dhani dan Dody yang
kuliah di Institut Seni Indonesia.
Darah seni Teguh berasal dari ayahnya Soemarmo Adji dan ibunya Lasiyem yang
merupakan seniman ketoprak. Mereka pemilik tobong ketoprak ”Krido Sworo pada
waktu itu. Mbah Marmo—sebutan untuk Soemarmo—dikenal sebagai pelukis layar
sebagai latar belakang panggung ketoprak.
Waktu SMP, sebenarnya bakat menggambar Teguh belum menonjol. Nyatanya dalam
suatu lomba menggambar ia tidak menang, pemenang hiburan saja tidak. Tapi
semenjak kelas 1 SMA, bakatnya mulai terlihat. Teguhpun giat belajar menggambar
di luar jam pelajaran sekolahnya. Belajarnya di sebuah kelompok bernama Palet
Hijau yang didirikan oleh teman-teman dan guru sekolahnya. Disini terlihat
bahwa pengaruh lingkungan pada masa remaja cukup menentukan perkembangan karier
seseorang.
Namun Teguh memang sudah hebat. Masih menjadi murid SMA pun, ia sudah membuat
illustrasi di majalah Djaja Baja Kemudian iapun menjadi seorang illustrator di
sebuah koran bernama Gelora di Surabaya. Hal ini terjadi pada tahun 1964. Waktu
kerja di Gelora ini, tugasnya juga membuat pula cerita bergambar bersambung.
Biasanya dengan tema sejarah, misalnya : Ronggo Lawe, Airlangga, Kertanegara,
dsb.
Gajinya kerja di koran Gelora kecil. Oleh sebab itu Teguh menjadi pelukis
amplop surat dan menjualnya sehndiri sebagai biaya hidup karena waktu itu ia
sudah menjadi seorang suami. Kerja menggambar amplop ini bertahan selama 2
tahun, sampai ketika ia ditarik untuk kerja di majalah Kemuning di Semarang di
tahun 1966. Waktu majalah anak-anak ini mengalami gejala kebangkrutan, satu
setengah tahun kemudian Teguh mudik kembali ke kampung isterinya Di Kepanjen,
sebuah kota kecil, 18km selatan kota Malang. Nah disinilah Teguh membuat komik
dengan tekun. Pertama kali komiknya berjudul Madeline dan Tebusan Dosa yang
diterbitkan oleh Cahya Kumala.
Posisinya didunia perkomikan Indonesia menjadi kokoh setelah ia membuat komik
trilogi : Sandhora (1969) yang terinspirasi dari cerita film seri
"Angelique", Episode keduanya berjudul Mat Romeo (1971) dan ditutup
dengan Mencari Jejak Mayat Mat Pelor (1974).
Selain trilogi Sandhora, Teguh juga membuat komik trilogi Badai dan Asmara di
Teluk Tiram (Juni 1968), Mutiara dan Tambusa.
Setelah itu Teguh membuat komik-komik silat-mistik maupun silat-futuristik
dengan gambar-gambar surealis seperti Dewi Airmata, Hancurnya Istana Sihir,
Kuil Loncatan Setan, Si Mata Siwa, Mahesa Bledeg, Kamadhatu, Karmapala, dan
lain sebagainya.
Setelah sukses, Teguh Santosa akhirnya mendirikan sebuah persewaan buku di
rumahnya dikelola oleh isterinya.
Corak lukisan Teguh Santosa memang lain dari yang lain. Ia menyukai
"block-block" warna gelap. Karena itu banyak yang mengolokinya
sebagai King of Darkness, yang berarti Raja Kegelapan. Gaya gelap seperti ini sebenarnya
merupakan hasil dari suatu perkembangan yang tidak serta merta.
Mula mula corak lukisannya lebih mengarah pada gaya Yogya yang menurut istilah
Teguh : sok nyeni . Ia banyak menjiplak gaya illustrasi Ekana Siswaya yang
sering dimuat di majalah Minggu Pagi. Waktu itu Teguh masih duduk di bangku
SMA. Maklum, sebagai remaja waktu itu rasanya tidak sreg kalau gembarnya tidak
nyeni,
Tapi itu hanya satu tahap. Ketika banyak membantu di majalah Djaja Baja, ia
dianjurkan untuk menggambar dengan corak illustrasi Kentardjo S. Har atau Mieke
SD yang waktu itu banyak ditemui di Penjebar Semangat ataupun buku detektif
Naga Mas.
Lalu ia pun banyak belajar dari illustrasi-illustrasi komik barat, seperti
Flash Gordon karya Alex Raymond. Dan terutama mengagumi karya karya Taguan
Hardjo, cergamis angkatan Medan waktu itu.
Kemampuan Teguh Santosa akhirnya mempesona penerbit komik terbesar di dunia
Marvel Comics di New York, Amerika Serikat. Teguh kemudian direkrut sebagai
ink-man untuk komik serial Conan, Alibaba, dan Piranha, yang semuanya digarap
di dapur Gauntlet Comics di Kanada.
Kemungkinan, Teguh adalah komikus Indonesia pertama, dan mungkin satu-satunya
yang mendapat pengalaman internasional.pada waktu itu.
Teguh Santosa terus berkarya sampai kanker ganas menyerang tangannya, saat itu
ia hanya bisa menanti ajal tiba. Beliau meninggal dunia pada dini hari 25
Oktober 2000 dan beristirahat dengan damai dekat makam ibundanya di lereng
pegunungan Tengger, desa Nongkojajar, Jawa Timur.
Menjelang meninggal dunia, komikus Teguh masih mengigau dalam
ketidaksadarannya: ”Keris itu harus dilempar ke lereng Tengger...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar